Oleh: Gilang Ken Tawar
Ketua GERPA (Gerakan Pemuda ALA)
Kepada yang menulis bahwa Gerakan ALA adalah mimpi yang belum menemukan ranjang sejarahnya—kami ucapkan terima kasih. Bukan karena kami sepakat, tapi karena kritik semacam itu adalah bahan bakar terakhir yang kami butuhkan untuk memastikan: perjuangan ini tidak sedang tertidur. Ia sedang membakar.
Gerakan ALA bukanlah bunga tidur dari warung kopi. Ia adalah bara yang lahir dari ketimpangan yang terlalu lama dianggap biasa. Ia bukan gagasan yang mencari kasur sejarah, ia adalah sejarah itu sendiri—yang selama ini ditolak masuk ke dalam kamar pusat kekuasaan.
1. “ALA belum punya peta.” Kami jawab: Kami punya, Anda yang menutup mata.
Sejak 2002, ALA telah punya dasar hukum melalui proposal resmi yang masuk ke meja DPR RI. Pada 2008, Komisi II DPR bersama Kemendagri menyatakan bahwa ALA telah layak secara administratif dan kewilayahan. Tapi kemudian, proses itu terhenti bukan karena ALA tidak siap, melainkan karena Aceh—pasca-Helsinki—masih gemetar oleh transisi. Jakarta menahan semua proses pemekaran. Apakah itu kesalahan kami?
Hari ini, peta ALA bukan hanya gambar di atas kertas. Ia adalah denyut yang hidup di Takengon, Bener Meriah, Gayo Lues, Kutacane, Singkil, Subulussalam, dan Tamiang. Kami tahu garis batasnya. Kami tahu apa yang kami tuntut. Kami bahkan tahu siapa yang mencoba memutarbalikkan arah kompas.
2. “ALA tidak punya narasi lintas etnis.” Kami jawab: Apakah persatuan hanya sah jika dibentuk dari luar?
Kami tidak membentuk ALA untuk menciptakan dominasi baru. Kami membentuk ALA karena kami muak dipaksa tunduk pada dominasi lama. Di ALA, ada Gayo, Alas, Singkil, Pakpak, Tamiang—dan kami tidak sedang memaksakan satu identitas. Kami sedang menyusun rumah bersama, bukan puncak piramida untuk satu etnis.
Di forum-forum masyarakat adat, kami berbicara dalam banyak bahasa. Dalam suara yang berbeda, kami temukan kesamaan: sama-sama terpinggirkan oleh politik sentralistik Aceh. Jika “narasi bersama” yang dimaksud adalah satu warna seragam, maka bukan itu yang kami cari. Yang kami bangun adalah kanvas, bukan doktrin.
3. “ALA tidak punya konsep pembangunan.” Kami jawab: Kami tidak sedang menghafal teori, kami sedang membangun fondasi.
Apakah Bali dibentuk dari konsep di awal? Tidak. Ia tumbuh dari kehendak hidup masyarakatnya yang konsisten. Hari ini, kami bicara soal konektivitas antarwilayah, penguatan UMKM dataran tinggi, digitalisasi pertanian, pemanfaatan hutan lestari, dan pariwisata budaya berbasis lokal. Itu semua bukan wacana, tapi bagian dari draft masterplan pembangunan ALA yang sedang kami rampungkan bersama akademisi dari berbagai kampus.
Yang tidak punya konsep adalah mereka yang membiarkan Aceh Tengah punya RSUD tanpa ruang isolasi Covid saat pandemi. Yang tidak punya konsep adalah mereka yang mengirim dana otsus ke proyek jembatan yang tak dilalui rakyat, sementara anak di Gayo Lues menyeberangi sungai demi sekolah.
4. “Elit ALA bermain dua kaki.” Kami jawab: Kami bukan elit, kami gerakan rakyat.
Kami tahu siapa yang menjadikan ALA sebagai kendaraan politik lima tahunan. Kami tidak sejalan dengan mereka. Tapi dari sini kami bertanya balik: apakah karena segelintir elit menunggangi gerakan, maka seluruh rumah harus dibakar? Apakah karena ada satu pencuri di pasar, seluruh pedagang harus dicurigai?
KP3ALA, GERPA dan ratusan tokoh masyarakat di daerah ALA bergerak bukan karena ingin kursi, tapi karena kami ingin keadilan. Kami tidak hidup dari baliho dan spanduk. Kami hidup dari kerja sunyi: mengorganisir, menyuarakan, menyusun data, menulis sejarah sendiri.
5. “ALA hanya muncul saat pemilu.” Kami jawab: ALA selalu hidup, hanya media yang baru bangun.
Kala tidak ada pemilu, kami mengajar anak-anak tentang sejarah daerah. Kami menyusun forum-forum diskusi lintas desa. Kami membawa data pembangunan ke Komnas HAM, ke DPD, ke kementerian. Kalau ALA terdengar nyaring saat pemilu, itu karena media ikut tertarik pada nyala lampu panggung. Tapi di belakangnya, kami terus menyalakan pelita kecil, satu per satu.
6. Kami Tidak Meminta Izin Menjadi Provinsi, Kami Menuntut Hak Kami yang Lama Dirampas
Kami tidak menunggu ranjang sejarah, karena sejarah kami sudah berdiri sebelum Aceh modern itu sendiri. Gayo punya kerajaan sebelum Aceh dikenal sebagai Serambi. Alas punya adat dan hukum sendiri. Tamiang punya sistem politik yang tertulis sebelum Indonesia lahir.
Maka jangan ajari kami cara menjadi daerah. Kami hanya sedang meminta peta yang mencerminkan kenyataan. Kami hanya menuntut kursi yang seharusnya sudah lama kami duduki.
ALA bukan mimpi. Ia adalah kenyataan yang terlalu lama ditunda. Dan seperti semua kenyataan yang tak bisa dibantah, ia akan datang—cepat atau lambat.