Oleh : Difa Adzkiya
Filsafat merupakan ilmu yang membahas tentang cara berpikir secara logis, kritis, dan mendalam mengenai hakikat sesuatu di dunia ini, dan karena sifat dasarnya yang menyeluruh serta mencakup hampir semua cabang pengetahuan, maka tidak heran jika filsafat disebut sebagai induk segala ilmu, sebab dari filsafatlah kemudian lahir berbagai disiplin ilmu yang berkembang menjadi cabang-cabang ilmu pengetahuan yang kita kenal saat ini. Dalam konteks peradaban Islam, Filsafat Islam memiliki identitas tersendiri yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan filsafat Arab, sebab filsafat Islam berkembang di dalam atmosfer ilmiah dunia Islam yang luas dan tidak terikat pada satu kerajaan atau dinasti tertentu, terutama pada masa kejayaan Islam.
Salah satu periode paling gemilang dalam sejarah peradaban Islam adalah masa keemasan Andalusia yang berlangsung dari abad ke-8 hingga ke-15 Masehi, Wilayah ini tidak hanya menjadi pusat kekuasaan politik dan budaya Islam di Eropa, tetapi juga berkembang menjadi tempat penting bagi ilmu pengetahuan, dengan banyak kemajuan besar di bidang seperti matematika, astronomi, kedokteran, seni, dan terutama filsafat, dan dari wilayah inilah sains dari peradaban Yunani dan Arab berhasil diteruskan dan disebarluaskan ke Eropa, khususnya pada abad ke-12 yang kemudian mendorong lahirnya gerakan Renaisans di Barat. Salah satu tokoh besar yang lahir dan berkembang di tengah semangat intelektual ini adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd atau yang lebih dikenal di Barat dengan nama Averroes, yang lahir pada tahun 1126 di kota Cordoba, dan sejak muda telah mendapatkan pendidikan dalam berbagai bidang ilmu mulai dari bahasa Arab, fiqh, kedokteran, logika, sampai teologi, dengan bimbingan para sarjana ternama pada zamannya hingga ia mencapai usia empat puluh tahun.
Ibnu Rusyd lahir dalam keluarga terhormat yang dikenal sebagai keluarga religius dan ilmiah, di mana ayahnya pernah menjadi hakim di Cordoba dan kakeknya adalah seorang ahli hukum Islam terkemuka yang menganut mazhab Maliki, dan dari lingkungan inilah Ibnu Rusyd sejak kecil telah akrab dengan ajaran Islam dan semangat keilmuan, bahkan ia pernah belajar langsung dari ayahnya kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, dan seiring bertambahnya usia serta luasnya cakrawala intelektual yang ia pelajari, ia semakin dikenal sebagai seorang filsuf besar dalam dunia Islam yang banyak memberikan komentar terhadap warisan intelektual dari tokoh-tokoh besar Yunani seperti Plato dan Aristoteles, dan juga terhadap pemikiran para pemuka filsafat dalam tradisi intelektual Islam, di antaranya al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali. Ibnu Rusyd memiliki kecerdasan luar biasa dan semangat belajar yang tinggi, sehingga ia rela meninggalkan kenyamanan keluarganya untuk menimba ilmu kepada para ilmuwan besar pada zamannya di berbagai kota, Ia pernah menimba ilmu di beberapa tempat, seperti Sevilla, Cordoba, dan Maroko. Bahkan, ia sempat berguru langsung kepada Ibnu Thufail, seorang tokoh terkenal yang kemudian mengenalkannya kepada Sultan dan menjadikannya dokter di istana.
Selama hidupnya, Ibnu Rusyd mengabdikan diri dalam berbagai bidang seperti hukum, kedokteran, astronomi, logika, dan tentu saja filsafat, di mana ia dikenal luas sebagai komentator terbesar pemikiran Aristoteles, bahkan lebih dari itu, ia mampu menyusun pemikiran filsafatnya sendiri yang kemudian dikenal dengan sebutan Averroisme, suatu aliran yang sangat memengaruhi filsafat Eropa pada masa Renaisans. Salah satu karya monumental yang ditulisnya adalah Tahafut al-Tahafut, yang berfungsi sebagai respons terhadap kritik Imam al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali pernah menyebut bahwa para filsuf telah melakukan kesalahan dalam 20 hal dan bisa menyesatkan umat Islam. Walaupun begitu, pemikiran dan karyanya tetap terkenal dan dihargai, baik di negara-negara Islam maupun di negara Barat. Dalam bukunya Tahafut al-Tahafut, ia membantah dengan logika yang jelas dan tertata, bahkan menyatakan bahwa justru pemikiran al-Ghazali-lah yang membingungkan dan tidak konsisten, bukan para filsuf. Ibnu Rusyd juga menulis karya penting lainnya berjudul Fasl al-Maqal yang menjelaskan Filsafat dan agama sebenarnya tidak berbenturan, melainkan bisa saling mendukung, bahkan saling melengkapi, sebab kebenaran yang dicapai melalui akal dan kebenaran yang diperoleh melalui wahyu tidak akan bertentangan jika keduanya dipahami dengan benar.
Namun sayangnya, pemikiran Ibnu Rusyd tidak sepenuhnya diterima pada zamannya, bahkan ia sempat diasingkan ke Lucena dan Maroko karena tuduhan-tuduhan bahwa pemikirannya menyimpang dari ajaran Islam, dan banyak karya-karyanya dihancurkan, kecuali karya-karya ilmiah dalam bidang kedokteran, astronomi, dan matematika, meskipun pada akhirnya beberapa tokoh berhasil membelanya dan membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Ibnu Rusyd menghembuskan napas terakhirnya di Maroko pada tahun 1198, ketika ia sedang hidup dalam pengasingan jauh dari tanah kelahirannya. Walaupun begitu, pemikiran dan karyanya tetap terkenal dan dihargai, baik di negara-negara Islam maupun di negara Barat. Di Eropa, ia sangat dihormati dan dikenal dengan nama Averroes, seorang filsuf Muslim terkenal yang menjadi penghubung penting antara pemikiran Timur dan Barat. Ibnu Rusyd membuktikan bahwa berpikir secara rasional, ilmiah, dan tetap berpegang pada nilai-nilai agama bukanlah sesuatu yang bertentangan, tetapi justru harus berjalan beriringan untuk mencapai pemahaman yang utuh dan mendalam tentang kehidupan dan kebenaran. Maka tidak heran jika kontribusinya dianggap sebagai salah satu pilar penting dalam sejarah filsafat Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia, dan ia layak dikenang sebagai simbol kemajuan, toleransi, dan Ini merupakan bagian dari masa kejayaan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam saat Andalusia berada di puncak keemasannya.
Penulis merupakan Mahasiswi Prodi Sejarah Kebudayaan Islam, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.