Oleh : Neisya Tri Amiyani
Pada tahun 2025, dunia masih menyaksikan babak-babak panjang dari perang Rusia-Ukraina yang belum menunjukkan akhir yang pasti. Kota-kota seperti Kharkiv, Mariupol, dan Odessa masih bergaung dengan sirine dan gelegar bom. Di tengah kehancuran, ribuan keluarga kehilangan rumah, akses air, pendidikan, bahkan identitas. Namun, di balik reruntuhan ini, komunitas Muslim di Ukraina—meskipun minoritas—menjadi titik terang yang mengejutkan banyak orang. Mereka bukan hanya bertahan, tetapi juga hadir sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan yang justru mulai hilang dari lingkaran yang lebih luas.
Muslim Ukraina tidak banyak disorot media internasional. Padahal, sejak awal perang pecah, mereka adalah salah satu komunitas yang paling tanggap membuka pintu rumah, masjid, dan pusat komunitas mereka untuk siapa saja—baik Muslim maupun non-Muslim—yang mencari perlindungan. Di kota Dnipro, sebuah komunitas Muslim lokal bahkan mengubah ruang bawah tanah masjid menjadi tempat penampungan bagi lebih dari 70 orang yang kehilangan rumah. Tak ada syarat agama, hanya prinsip ukhuwah insaniyah—persaudaraan kemanusiaan.
Komunitas Muslim di Ukraina merupakan kelompok majemuk. Mereka berasal dari etnis Tatar Krimea, imigran dari Asia Tengah, mahasiswa dari Timur Tengah, dan bahkan mualaf Ukraina sendiri. Meski jumlahnya hanya sekitar 1% dari total populasi, kehadiran mereka selama masa krisis memberikan kontribusi yang sangat tidak sebanding dengan jumlah mereka. Mereka membentuk dapur umum, klinik darurat, distribusi logistik, hingga menjadi relawan yang membantu mengangkat jenazah dari reruntuhan gedung—tugas yang bahkan dihindari oleh banyak aparat resmi karena alasan keamanan.
Salah satu pusat Islam di Kyiv yang dulunya hanya berfungsi sebagai tempat belajar dan ibadah kini berubah menjadi posko bantuan utama untuk para pengungsi. Ustaz di sana tidak hanya memberi ceramah, tetapi juga memimpin distribusi selimut, makanan, dan obat-obatan. Dalam khutbah Jumat, mereka tidak berbicara soal hukum fiqh, tapi soal pentingnya merawat sesama manusia dalam keadaan yang paling genting. Dakwah mereka menjadi nyata, menyatu dalam tindakan, bukan hanya kata.
Di kota Lviv, seorang relawan Muslim bernama Amir Mustafayev bahkan dikenal di kalangan warga Kristen Ortodoks sebagai “saudara yang paling ringan tangan.” Ia tidak dikenal karena janggutnya atau sorban di kepalanya, tetapi karena setiap pagi ia datang ke gereja setempat membawa roti dan air bersih untuk lansia yang terisolasi. Perbuatan ini membuka mata banyak orang bahwa Islam tidak hanya hidup di antara Muslim, tetapi juga dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Tentu saja, kehidupan Muslim di Ukraina tidak mudah. Mereka harus menghadapi stereotip, ketakutan, bahkan ancaman—terutama dari kelompok ekstremis yang memanfaatkan perang untuk menyebar kebencian. Namun tantangan ini justru melatih komunitas Muslim untuk menjawab dengan keteguhan dan pelayanan, bukan dengan kemarahan. Mereka membangun kekuatan dari dalam, dengan tetap menjadikan Islam sebagai inspirasi untuk menjadi agen kebaikan.
Generasi muda Muslim di Ukraina, terutama para pelajar dan mahasiswa, memainkan peran penting. Mereka membentuk forum-forum diskusi virtual, menggalang donasi online, serta membuat kampanye toleransi dan perdamaian lewat media sosial. Di tengah dunia yang terpolarisasi, anak-anak muda ini menyuarakan Islam yang inklusif dan penuh kasih sayang. Mereka bukan hanya menjadi pewaris agama, tapi juga pembawa wajah Islam yang baru—lebih terbuka, aktif, dan berakar pada realitas sekitarnya.
Kisah luar biasa datang dari Krimea, wilayah yang dianeksasi Rusia sejak 2014. Komunitas Muslim Tatar yang secara historis menjadi sasaran diskriminasi, kini menjadi simbol ketabahan dan konsistensi. Meski banyak dari mereka dipaksa meninggalkan tanahnya, mereka tetap menjaga adat, bahasa, dan tentu saja agama. Di pengungsian, mereka membentuk kelas mengaji, halaqah online, dan mendidik anak-anak mereka agar tidak kehilangan akar mereka.
Islam yang hidup di Ukraina hari ini bukan Islam yang besar dalam jumlah, tapi kuat dalam makna. Ia hadir bukan di ruang megah atau platform politik, melainkan di jalan-jalan sempit yang penuh puing, di ruang bawah tanah yang dingin, dan di hati orang-orang yang tidak berhenti percaya bahwa kebaikan masih mungkin tumbuh meski dalam perang. Inilah Islam yang menghidupkan, bukan menghakimi.
Sejumlah jurnalis independen bahkan mulai menyebut komunitas Muslim Ukraina sebagai “moral backbone” dari bencana kemanusiaan ini. Di saat banyak institusi gagal menjalankan fungsinya, justru kelompok-kelompok kecil dengan nilai-nilai religius yang bekerja dalam senyap menjadi penyambung nyawa dan harapan.
Umat Islam di Ukraina juga membuktikan bahwa keberagamaan tidak selalu harus eksklusif. Mereka menunjukkan bahwa membangun solidaritas lintas iman bukan berarti mengurangi identitas keislaman, tapi justru memperkuatnya. Mereka menghidupkan pesan Al-Qur’an: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa” (QS Al-Ma’idah: 2) dengan cara yang nyata.
Umat Muslim di Ukraina tidak menuntut pengakuan atau posisi. Mereka hanya ingin hidup dalam damai dan memberi makna pada kehidupan orang lain. Namun justru karena kerendahan hati inilah mereka menjadi sosok yang paling menonjol di antara reruntuhan negeri yang babak belur.
Tahun 2025 mencatat banyak tragedi, tetapi juga menjadi saksi dari keberanian spiritual komunitas-komunitas kecil seperti Muslim Ukraina yang memilih menjadi cahaya saat semuanya gelap. Mereka bukan pemilik senjata atau pemimpin negara, tetapi mereka adalah penjaga nilai yang mungkin akan menentukan bentuk masa depan setelah perang ini usai.
Dan di akhir setiap hari yang panjang, meski azan tak lagi terdengar dari menara karena rusaknya pengeras suara, doa-doa masih terus naik dari dada-dada yang bertahan. Itulah cara umat Islam Ukraina menjaga bukan hanya agamanya, tetapi juga kemanusiaan—sebuah perjuangan sunyi yang mencatat sejarah dari sisi yang tak terlihat.
Penulis Merupakan Mahasiswi Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam, Universitas Islam Negeri Ar – Raniry Banda Aceh.