Oleh: Cut Khairatun Hisan*
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, Palestina merupakan salah satu negara yang sejak tahun 1967 hingga sekarang masih dijajah oleh negara tetangganya, yaitu Tel Aviv, ibu kota negara Israel. Konflik berkepanjangan tersebut terus terjadi hingga pegeboman serta pembunuhan dalam skala besar. Tak hanya gedung-gedungnya saja yang menjadi korban dari konflik antar saudara ini, namun para masyarakatnya juga menjadi sasaran empuk bagi Israel untuk melakukan pembantaian (yang disebut sebagai genosida (pembunuhan massal) disana.
Tempat demi tempat terus mereka jajah tanpa memandang ras, suku, maupun agama yang ada di sana. Ladang hijau tempat mereka menanam segala tumbuhan berubah menjadi ladang darah dan bangkai manusia. Tak hanya orang dewasa, anak-anak juga turut menjadi korbannya. Dilansir dari beberapa media online, tercatat sudah lebih dari 33.797 orang yang menjadi korban dalam pembantaian ini, termasuk anak-anak (baik dari umur 2-12 tahun). Hal ini menjadi perhatian dunia karena semakin banyak pertumpahan darah yang terjadi. Namun, para petinggi saat ini masih bungkam akan hal tersebut. Mereka belum bisa mengambil tindakan yang tepat untuk menghentikan segera gencatan senjata antara Palestina dan Israel.
Banyak sekali dampak yang dapat kita lihat dari peristiwa tak lazim ini. Selain tempat berlindung yang kita sebut rumah itu hancur bahkan manusia seperti kita pun tak layak untuk tinggal di sana, makanan dan minuman yang menjadi salah satu sumber kehidupan manusia juga terbatas. Jika makan dan minum mereka saja tak terpenuhi, lantas bagaimana mereka dapat bertahan hidup? Di dalam hierarki kebutuhan Abraham Maslow telah dicantumkan bahwa manusia dapat mencapai aktualisasi dirinya ketika telah memenuhi 5 standar hierarki kebutuhan. Biasa kita sebuut sebagai Maslow’s Hierarchy of Needs. Yang paling dasar adalah Physiological Needs (kebutuhan fisiologis), yaitu kebutuhan yang mempunyai kekuatan atau pengaruh paling besar dari semua kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak ada maka akan sulit bagi seseorang untuk menjalani kehidupannya karena asupan energi mereka belum terpenuhi.
Tak hanya itu, trauma akan peristiwa yang terjadi dapat mengganggu psikis seseorang. Khususnya anak-anak. Bom yang setiap saat terbang dan jatuh di sekitar mereka akan menjadi luka yang sangat mendalam bagi psikis seorang anak. Bayangkan saja suara bom yang selalu terngiang-ngiang di telinga setiap hari apalagi ketika mengetahui kabar bahwa keluarga mereka yang menjadi korban di antara satu dari banyaknya bom yang jatuh di sekitar mereka.
Tak hanya orang dewasa, psikis anak-anak pun dapat sangat mudah terganggu. Salah satu dampak psikis dari perang ini adalah dapat menjadi trauma berat dan boomerang bagi dirinya sendiri. Anak menjadi susah untuk terbuka dengan yang lain dan yang paling parah adalah sulit untuk berbicara. Selain itu juga, suara bom yang keras dapat mengakibatkan pendengaran sesorang terganggu dan bahkan dapat berakibat fatal bila terjadi. Mayat manusia dimana-mana juga dapat menjadi trauma berat bagi diri anak-anak khususnya karena tidak sepantasnya anak-anak kecil seperti mereka melihat hal yang belum sepantasnya mereka lihat. Selain itu juga tingkat depresi seseorang juga dapat meningkat seiring berjalannya waktu. Kehilangan keluarga, anak, saudara, teman, maupun mainan kesayangan mereka juga menjadi penyebab mengapa seseorang mengalami depresi.
Masa anak-anak merupakan masa Golden Age. Dimana di masa merekalah kepribadian terbentuk. Hal ini seharusnya juga menjadi perhatian dunia tak hanya dari sisi penyebab perang terjadi. Namun kondisi psikis masyarakat di sana juga harus diperhatikan. Khususnya dari lembaga dunia tentang perlindungan dan kesejahteraan kehidupan anak. Seperti UNICEF misalnya. Anak merupakan aset berharga suatu negara. Karena merekalah yang nantinya menjadi penerus bagi bangsa kita. Seperti kata pepatah “jiwa yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat.” Jika jiwa nya saja tidak sehat, lantas bagaimana dengan tubuhnya?
*Penulis merupakan Mahasiswa Prodi Psikologi UIN Ar Raniry Banda Aceh