6BENER MERIAH, GEMAPERS.COM – Di bawah temaram lampu petromaks dan cahaya bulan yang menggantung di langit Gayo, suara-suara riang anak muda dan orang tua dulu kerap terdengar di tengah hamparan sawah. Mereka membawa jaring dan karung goni, berjalan beriringan sambil menembangkan jangin, nyanyian khas yang menjadi pembuka tradisi belompong atau berburu belalang di malam hari.
Belompong bukan sekadar kegiatan mencari belalang untuk lauk. Ia adalah warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Gayo, yang telah hidup turun-temurun di tiga kabupaten serumpun: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
“Dulu, kalau sudah panen padi, orang ramai-ramai turun ke sawah malam hari. Bukan untuk bekerja, tapi berburu belalang. Itu hiburan kami setelah lelah di sawah” ungkap Zaini Aman Nazwa permerhati budaya Bener Meriah.
Dalam tradisi belompong, tak ada batas usia. Anak-anak, remaja, hingga orang tua ikut serta. Selain menjadi sumber pangan bergizi tinggi, kegiatan ini juga menjadi wadah silaturahmi bagi warga kampung.
“Kalau dulu, belompong itu jadi ajang berkumpul. Ada yang bernyanyi, ada yang bercerita. Kadang hasilnya dimasak bersama. Rasanya gurih dan lezat,” kenang Aman Daffa salah seorang pemerhati budaya asa Gayo Lues.
Menariknya, sebelum turun ke sawah, masyarakat Gayo dulu selalu melantunkan tembang jangin — semacam mantra atau doa pembuka penuh makna. Salah satu syairnya berbunyi:
“Lompong minyak nome i tetusuk, Rasa sejuk minah ku ulung tau, rasa bau minah ku ulung nawal, rasa gatal tengkaman urum pumu.”
Tembang ini dipercaya sebagai simbol penghormatan terhadap alam, sekaligus penyemangat sebelum memulai perburuan malam.
Kini, tradisi belompong perlahan memudar, tergerus kemajuan zaman dan perubahan gaya hidup masyarakat. Namun, di balik itu, belalang ternyata menyimpan nilai gizi yang tinggi.
Menurut penelitian University of State Mexico (USM), belalang mengandung protein hingga 77 persen dan lemak yang sangat rendah — bahkan lebih tinggi dibanding beberapa jenis ikan.
“Kalau kita lihat dari segi nutrisi, belalang ini luar biasa. Jadi tidak ada salahnya jika tradisi belompong kembali digairahkan, bukan hanya untuk melestarikan budaya, tapi juga memperkenalkan sumber protein lokal kepada generasi muda,” Selain nilai gizi, tradisi ini juga menjadi sarana belajar bahasa dan pengetahuan lokal Gayo, seperti mengenal ragam jenis belalang yang disebut lompong.
Masyarakat Gayo mengenal banyak jenis lompong dengan nama-nama khas dan unik: Lompong minyak, lompong batu, lompong eres, lompong ganir, lompong muyum (bucum), lompong gadung, lompong tai nasu, lompong tongok, letok, lompong jangko, lompong papan, lompong betung (keben), lompong kero, hingga udang deret.
Nama-nama itu bukan sekadar sebutan, melainkan representasi dari kekayaan bahasa dan ekologi Gayo yang lahir dari kedekatan manusia dengan alam.
Kini, di tengah arus modernisasi, mungkin hanya segelintir orang yang masih mengenang dan melestarikan tradisi ini. Namun bagi sebagian masyarakat Gayo, belompong tetap hidup dalam ingatan dan nyanyian jangin, kisah tentang manusia, alam, dan kebersamaan yang tak lekang dimakan waktu. (RG)