Oleh : Ramli Lahaping*
Kekesalan Wasdi tak tertahankan lagi. Setelah mengamati satu buah durian yang jatuh masak dari sebuah pohon tanaman peliharaannya, ia pun memastikan kalau itu bukanlah jenis buah durian yang ia harapkan. Ukurannya jelas lebih kecil dari yang semestinya. Rasa dan model isinya pun jauh berbeda dari yang seharusnya.
Dengan emosi yang bergejolak, ia lalu mengarungkan sebelah bagian buah durian itu. Ia lantas menunggangi sepeda motornya dan berangkat ke kios pembibitan milik Tono. Ia ingin memprotes perihal kenyataan buah duriannya. Ia yakin kalau ia telah menanam dan memelihara jenis durian yang salah dari bibit yang ia beli dari kios lelaki tua tersebut.
Perkara bibit durian itu, bermula pada satu pagi, lima tahun yang lalu. Saat itu, Wasdi ingin mengisi setitik lahan kosong di kebunnya setelah sepohon rambutannya tumbang diterjang angin. Ia pun terpikir untuk menanam durian montong, sebagaimana tetangga kebunnya, sebab kata orang-orang, durian montong memuaskan untuk dikonsumsi, dan harganya mahal.
Demi menunaikan kehendaknya, Wasdi lantas menandangi kios pembibitan milik Tono. Di sana, ia menjumpai seorang pegawai. Ia lalu mengungkapkan keinginannya untuk membeli bibit durian montong. Dan untuk itu, sang pegawai menunjukkan saja titik kumpulan bibit durian jenis montong untuknya, kemudian pergi untuk melayani pembeli yang lain.
Berbekal instingnya sendiri, Wasdi pun memilah dan memilih-milih bibit yang terbaik. Beberapa lama berselang, perhatiannya tertuju pada satu bibit di tepi kumpulan. Bibit itu tampak lebih rimbun ketimbang bibit yang lain. Maka tanpa keraguan lagi, ia mengambil bibit tersebut. Ia lalu melunasi harganya, kemudian membawanya pulang dengan hati-hati.
Di hari yang sama, setelah berdoa, Wasdi menanam bibit itu pada lokasi yang ia rencanakan. Ia berharap tanamannya itu tumbuh subur dan lekas berbuah. Karena itulah, ia serius melakukan pemeliharaan dengan meracun hamanya, memangkas dahan liarnya, dan memupuknya. Hingga akhirnya, kini, durian itu berhasil mempertahankan enam belas buahnya yang mulai masak.
Tetapi nahas bagi Wasdi. Ia malah menuai kekecewaan yang mendalam setelah pohon duriannya itu berbuah, sebab buahnya menunjukkan ciri-ciri yang berbeda dengan buah durian montong. Ukurannya lebih kecil, warnanya isinya terlalu kuning, teksturnya cukup berlemak, dan rasanya manis-pahit. Meski jenis durian itu tidaklah buruk untuk dikategorikan sebagai durian biasa, tetapi itu tetaplah bukan durian montong.
Tentu tidak hanya tenaga dan biaya yang telah Wasdi korbankan untuk sepohon duriannya itu, tetapi juga waktu selama lebih dari lima tahun untuk melakukan pemeliharaan demi mendapatkan hasil panen. Namun sial, setelah buah durian tersebut mulai masak, ia malah harus menerima kenyataan yang pahit, bahwa ia gagal mencicipi buah durian montong dan gagal mendapatkan keuntungan ekonomi darinya.
Atas kejadian itu, Wasdi menjadi trauma. Ia pun kembali menimbang-nimbang rencananya menebang pohon cengkihnya yang tidak lagi menghasilkan untuk menggantinya dengan durian varietas unggul, semisal durian musang king yang cukup mahal di pasaran, yang tengah gencar ditanam orang-orang. Ia takut kalau ia malah akan kembali mengorbankan daya dan upayanya selama bertahun-tahun untuk hasil yang mengecewakan akibat bibit yang salah.
Akhirnya, dengan perasaan yang tak karuan, Wasdi terus memacu motornya ke kios penjualan bibit tanaman milik Tono. Ia tak sabar untuk segera meminta pertanggungjawaban kepada Tono, atau kepada pegawainya yang melayaninya lima tahun yang lalu. Ia bahkan bernafsu untuk meluapkan amarahnya dan bertekad menagih ganti rugi atas pengorbanannya dalam memelihara sepohon durian itu.
Sekian lama kemudian, Wasdi sampai di kios Tono. Dengan kekesalan yang menggunung, ia pun menjumpai sang lelaki tua berkacamata rabun yang tengah melayani seorang calon pembeli tersebut.
Tono sontak memalingkan perhatian kepada Wasdi yang tampak gusar. Ia kemudian bertanya dengan raut dan suara yang bersahabat, “Cari bibit apa, Pak?”
Dan seketika saja, amarah Wasdi mereda menyaksikan keramahan lelaki tua dengan tubuh yang membungkuk dihantam usia itu. Ia pun menggeleng dan berucap segan, “Aku tidak sedang mencari bibit, Pak. Aku hanya mau meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban Bapak.”
Sontak, Tono terheran. “Soal apa, Pak?”
Wasdi lalu menelan ludah di tenggorokannya, sembari menguatkan diri untuk menyampaikan keluhannya. “Lima tahun lalu, aku membeli bibit durian di kios Bapak ini. Aku bermaksud membeli bibit durian montong, tetapi pegawai Bapak malah menunjukkan bibit yang salah,” tutur Wasdi dengan nada kecewa.
“Salah bagaimana maksud Bapak?” selidik Tono.
Wasdi berdeham, kemudian menerangkan, “Setelah lebih dari lima tahun aku memelihara bibit durian yang kubeli di kios Bapak itu, ternyata, itu bukanlah durian montong.” Ia lalu membuka karung bawaannya dan mengeluarkan belahan buah durian tersebut. “Tadi, buah ini jatuh dari pohonnya. Dan sepengetahuan aku yang awam soal durian ini, jelas ini bukanlah durian montong.”
Mendengar keterangan itu, Tono pun terenyuh. Ia lalu memerhatikan durian itu baik-baik. “Ya, ini memang bukan durian montong,” akunya, setelah melihat bentuk kulit dan isi buah buah durian tersebut.
“Karena itulah, Pak, maksud aku ke sini adalah menagih Bapak perihal pertanggungjawaban apa yang bisa Bapak lakukan atas kesalahan karyawan Bapak itu. Aku benar-benar merasa rugi. Aku seharusnya sudah mencicipi buah durian montong ataupun menjualnya untuk mendapatkan keuntungan, tetapi malah tidak sama sekali,” keluh Wasdi, dengan kekesalan yang bergejolak di dalam hatinya.
Tetapi anehnya, Tono malah jadi tampak biasa saja dan tetap fokus mencermati buah tersebut. Sampai akhirnya, ia berpendapat, “Kalau kenikmatan buah dan keuntungan materi yang Bapak cari, seharusnya Bapak malah bersyukur.”
Wasdi pun terheran. “Maksud Bapak?”
Perlahan-lahan, senyuman mengukir di wajah Tono. “Ini memang bukan durian montong, Pak. Tetapi inilah yang orang katakan sebagai durian musang king. Jenis durian ini lebih lezat dan jauh lebih mahal ketimbang durian montong.”
Sontak saja, Wasdi terkejut. “Bapak yakin?”
Tono mengangguk tegas. “Iya. Aku jamin.”
Seketika, Wasdi terkesima. Dengan secepat kilat, rasa kesalnya tertimbun rasa bahagia.***
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Instagram (@ramlilahaping) atau Facebook (Ramli Lahaping).