Oleh : Helma Pita Rike
Di kota Algiers, dekat dengan gedung-gedung administratif dan deretan apartemen kolonial, terdapat sebuah kedai kecil yang selalu dipenuhi pengunjung sejak pagi. Di kedai ini, anak-anak muda tidak antre untuk menikmati roti pipih atau couscous tradisional, melainkan untuk mencicipi croffle manis yang disajikan dengan topping khas Aljazair, seperti kurma, almond, dan sirup jeruk pahit. Fenomena ini lebih dari sekadar perubahan selera makan. Ia menggambarkan transformasi sosial yang sedang berlangsung di kalangan generasi muda Aljazair, yang semakin terbuka terhadap pengaruh global, namun tetap berusaha mempertahankan ciri khas lokal dalam pilihan kuliner mereka.
Masyarakat Aljazair, terutama generasi muda, sedang mengalami pergeseran dalam cara mereka memilih dan menikmati makanan. Jika dulu dapur rumah menjadi pusat interaksi sosial dan kuliner keluarga, kini restoran cepat saji, kafe Instagramable, dan jajanan kaki lima modern mulai mengambil alih ruang tersebut. Fenomena ini terlihat jelas di kota-kota besar seperti Oran, Constantine, dan Annaba, yang menjadi laboratorium hidup bagi perubahan gaya hidup urban.
Kuliner di Aljazair sejak lama sudah mencerminkan pluralitas budaya. Pengaruh Arab, Amazigh, Andalusia, Turki, bahkan Prancis sangat terasa dalam resep dan cara memasak masyarakat. Namun kini, pengaruh yang lebih global dan cepat menyebar datang dari media sosial dan internet. TikTok, YouTube, dan Instagram menjadi sumber inspirasi sekaligus ruang unjuk kreativitas dalam hal makanan.
Remaja Aljazair yang dulu hanya melihat pizza sebagai makanan Barat mahal, kini bisa membuat versinya sendiri dengan bumbu harissa, keju lokal, dan topping merguez. Di sisi lain, bubble tea dengan rasa khas Aljazair seperti mint atau delima menjadi alternatif minuman gaul yang tidak harus “asing” secara rasa. Adaptasi ini mencerminkan bagaimana masyarakat tidak sekadar meniru, tapi mengolah ulang pengaruh luar menjadi bagian dari identitas baru mereka.
Tren ini tentu tak lepas dari dinamika sosial yang lebih luas. Aljazair adalah negara dengan populasi muda yang besar. Menurut data terakhir, lebih dari 50% penduduknya berusia di bawah 30 tahun. Ini adalah generasi yang tumbuh dengan akses informasi global, punya semangat bereksperimen, tapi juga membawa keresahan: sulitnya pekerjaan, tekanan sosial, dan keterbatasan ruang untuk berekspresi.
Makanan menjadi salah satu saluran yang paling aman untuk berekspresi. Melalui makanan, generasi muda bisa menyuarakan pilihan, selera, bahkan identitas politik atau kultural mereka—tanpa harus bersinggungan langsung dengan konflik ideologis yang lebih berat. Makanan bisa menjadi perlawanan yang halus, sekaligus jembatan yang hangat antara generasi dan antar budaya.
Di sisi lain, tentu ada suara-suara yang khawatir. Beberapa orang tua menganggap makanan cepat saji sebagai ancaman terhadap nilai-nilai rumah tangga. Makan bersama di meja, memasak resep warisan nenek moyang, adalah ritual yang lambat laun memudar. Mereka merasa ada yang hilang dari cara hidup tradisional yang dulu dijaga dengan penuh penghormatan.
Namun perlu diakui, perubahan bukan selalu berarti kehilangan. Di beberapa tempat, justru terjadi kebangkitan kembali resep-resep lama berkat keinginan anak muda untuk “mengangkat budaya sendiri.” Seorang pemilik kafe di Oran bahkan menciptakan menu fusi bernama Chorba Latte, campuran sup tradisional dengan krim lembut yang disajikan dalam gelas kopi. Kedengarannya aneh, tapi justru viral.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah tren ini hanya sebatas gaya hidup sesaat? Atau justru menjadi pertanda bahwa Aljazair sedang merumuskan ulang relasi antara modernitas dan akar budayanya? Jawabannya mungkin tidak mutlak, tapi pola konsumsi memang bisa menjadi cermin dari arah sosial masyarakat.
Faktor ekonomi tentu juga memainkan peran penting. Di tengah inflasi dan fluktuasi harga pangan, banyak warga kelas menengah mulai memilih makanan cepat saji lokal karena harganya lebih terjangkau. Ironisnya, makanan tradisional yang memerlukan banyak bahan dan waktu memasak justru menjadi “kemewahan” yang tidak semua orang bisa nikmati setiap hari.
Pemerintah sendiri tampaknya belum banyak menanggapi perubahan ini dalam bentuk kebijakan konkret. Kesehatan masyarakat, misalnya, mulai terdampak oleh pola makan baru yang tinggi gula dan lemak. Namun kampanye gizi atau regulasi makanan masih terbatas pada sisi formal, belum menjangkau keseharian masyarakat di ruang-ruang kuliner urban.
Meski begitu, tidak semua perubahan bersifat negatif. Banyak dari usaha kuliner baru yang dijalankan oleh anak muda dengan semangat wirausaha. Mereka menciptakan lapangan kerja, menyegarkan industri makanan, dan membangun jembatan antara warisan dan inovasi. Dalam konteks ini, makanan menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar konsumsi.
Makanan juga menjadi media yang menyatukan, bukan memecah. Di meja makan, anak muda dan orang tua masih bisa duduk bersama, meski dengan menu berbeda. Yang satu makan shawarma dengan saus cabai Korea, yang lain tetap setia dengan tajine ayam zaitun. Tapi mereka tetap berbagi cerita, saling mencicipi, dan tertawa bersama.
Barangkali di sanalah letak kekuatan sejati dari makanan di Aljazair hari ini: ia tidak statis, tapi lentur. Ia berubah mengikuti zaman, tapi tidak melupakan asal. Ia bisa menjadi simbol kebebasan, sekaligus rumah yang menenangkan. Dan di tengah dunia yang serba cepat dan kadang kacau, barangkali itulah yang paling dibutuhkan—sebuah rasa yang akrab, di mana pun kita berada.
Penulis merupakan Mahasiswi Prodi Sejarah Dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh