Oleh : Rada Putri Ibrahim
Di Mesir, negeri yang selama berabad-abad dikenal sebagai pusat ilmu keislaman, mimbar masjid pernah menjadi tempat paling sakral untuk menyampaikan ajaran agama. Dari sanalah para ulama berbicara kepada umat, memberi nasihat, menegur, dan membimbing. Namun, generasi baru di Mesir kini lebih akrab dengan layar ponsel dibanding dengan mimbar kayu di sudut masjid.
Perubahan ini tak terjadi secara tiba-tiba. Dalam satu dekade terakhir, media sosial telah mengubah cara orang Mesir hidup, belajar, dan berinteraksi. Anak muda tidak lagi datang ke masjid hanya untuk mendengar ceramah. Mereka justru membuka Instagram untuk menemukan video satu menit dari ustaz muda yang berbicara tentang cinta, salat, atau adab kepada orang tua.
Para dai muda Mesir ini bukan lagi hanya lulusan Al-Azhar atau pemuka agama resmi. Banyak dari mereka berasal dari latar belakang biasa, namun memiliki semangat berbagi dan memahami bagaimana cara berbicara kepada generasi digital. Mereka mengedit video dengan musik latar yang halus, menambahkan teks yang menarik, dan menyampaikan pesan agama dengan gaya ringan dan penuh senyum.
Instagram, yang awalnya diciptakan untuk berbagi foto dan momen pribadi, kini berubah menjadi ladang dakwah. Di Mesir, akun-akun dakwah tumbuh pesat. Followers-nya mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan. Para pengguna tak hanya menonton, mereka juga menyimpan, membagikan, dan mendiskusikan isi video itu dengan teman mereka.
Fenomena ini memunculkan sebuah pertanyaan penting: apakah dakwah memang harus berpindah bentuk agar tetap hidup? Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, mungkin inilah jawaban yang paling realistis. Pesan yang kuat tak selalu harus panjang. Bahkan satu kalimat sederhana dari video pendek kadang bisa lebih membekas daripada khutbah 30 menit.
Namun, transformasi ini juga menimbulkan kegelisahan. Ulama-ulama senior dan lembaga keagamaan seperti Al-Azhar merasa perlu menyikapi tren ini dengan hati-hati. Tidak semua yang viral itu benar. Tidak semua yang populer itu berisi. Dalam beberapa kasus, muncul dai dadakan yang lebih mementingkan penampilan dan tren daripada kedalaman ilmu.
Meski begitu, sulit untuk menampik bahwa anak muda Mesir memang telah berpindah ruang spiritual. Mereka mencari agama di tempat yang dekat dengan mereka: di media sosial. Mereka merasa lebih nyaman bertanya lewat kolom komentar, ketimbang datang langsung ke kantor mufti atau menghadiri kajian resmi.
Para dai muda pun memanfaatkan peluang ini bukan hanya untuk berceramah, tapi juga membangun komunitas. Mereka mengajak pengikutnya berdiskusi, berbagi kisah, bahkan berdoa bersama secara live. Ada rasa kedekatan yang tumbuh—sesuatu yang jarang ditemukan dalam dakwah tradisional yang kaku dan satu arah.
Sebagian dari mereka bahkan tidak pernah merencanakan jadi “ustaz Instagram.” Mereka hanya ingin berbagi kebaikan. Namun respon publik yang positif mendorong mereka untuk terus membuat konten, belajar lebih dalam, dan secara perlahan menjelma menjadi pendakwah digital yang disegani.
Di sisi lain, muncul pula semacam selebritas keagamaan baru. Ustaz-ustaz muda ini mulai diundang ke televisi, seminar, bahkan dikontrak oleh brand untuk mengiklankan produk halal. Ini membuka ruang ekonomi yang sebelumnya tak terpikirkan dalam dunia dakwah. Tentu saja, ini juga menuntut etika yang kuat agar dakwah tidak tergelincir menjadi semata-mata industri hiburan.
Fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam cara keberagamaan generasi muda Mesir. Mereka tidak meninggalkan agama, mereka hanya menyesuaikannya dengan bahasa zaman. Mereka tetap butuh bimbingan, tapi juga ingin merasa dimengerti dan dihargai sebagai bagian dari komunitas.
Perubahan ini tidak bisa ditolak. Justru yang diperlukan adalah adaptasi. Ulama, lembaga keagamaan, dan institusi pendidikan Islam harus mulai berpikir ulang tentang metode dakwah. Bukan untuk meniru gaya viral, tapi untuk menyentuh hati mereka yang tak lagi datang ke masjid tapi masih rindu pada nilai-nilai kebaikan.
Dakwah digital di Mesir kini menjadi jembatan baru antara generasi muda dan agama. Ia mengubah batas-batas ruang dan waktu. Tidak lagi terbatas pada hari Jumat atau ruang masjid, tetapi hadir kapan saja, di mana saja, dan melalui siapa saja.
Dan seperti semua perubahan, ini membawa harapan sekaligus tanggung jawab. Harapan bahwa agama tetap hidup dalam dunia yang serba digital. Tanggung jawab bahwa mereka yang berdakwah tetap menjaga ilmu, akhlak, dan niatnya.
Penulis merupakan Mahasiswi Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam di Universitas Islam Negeri Ar–Raniry Banda Aceh.